Saturday, May 4, 2024

KemenPPPA Ajak Tokoh Agama, Masyarakat, Ormas, LSM, Forum Anak, Dinas Tekan Perkawinan Anak

EraKita.id – Staf Khusus Menteri PPPA, Ulfah Mawardi mengatakan salah satu arahan Presiden Jokowi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) adalah Penurunan Angka Perkawinan Anak, dimana target RPJM prevalensi pernikahan anak menjadi 8,74% pada tahun 2024, dan di tahun 2022 ini target batas angka nasional 9,44.

Ia mencatat Propinsi Sulawesi Barat menempati posisi tertinggi nasional angka perkawinan anak di tahun 2021 berdasarkan data Susenas BPS.

Sedangkan di tahun 2020 angka perkawinan anak di Sulbar sempat turun menempati urutan ke-3 Nasional dengan persentase 17,12 % dan di tahun 2021 naik 0,59 persen menjadi 17,71% dan menempatkan Sulbar kembali di posisi tertinggi angka perkawinan anak se-Indonesia.

“Melihat kondisi ini kami KemenPPPA mengajak tokoh agama, tokoh masyarakat, Ormas dan LSM peduli anak, forum anak, aktifis perempuan dan anak serta dinas dan instansi terkait, melaksanakan Diskusi Terpumpun (FGD) tujuannya untuk menggali akar masalah sehingga mendapatkan jalan terbaik dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Perkawinan anak di Propinsi Sulawesi Barat,” ujar Ulfah Mawardi.

Menurutnya, salah satu hal yang belum diketahui masyarakat khususnya di 6 Kabupaten yang ada di SulBar adalah hadirnya UU No 16 tahun 2019 tentang batas usia perkawinan anak, baik laki-laki maupun perempuan itu berusia 19 tahun.

“Kehadiran kami juga sekaligus sosialisasi mendorong agar parah tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah memasifkan sosialisasi batas usia perkawinan, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak anak karena menikah di usia anak,” ucap Ulfah Mawardi.

Ia menjelaskan negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk itu, lanjutnya, pihaknya melakukan aktifitas pencegahan dengan terus menerus mensosialisasikan bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan banyak dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak pendidikan jika anak menikah di usia di bawah 19 tahun maka kemungkinan besar pendidikan anak tersebut terputus.

Ulfah mencontohkan hak kesehatan anak yang menikah dini sangat rawan mengalami kanker serviks, masalah persalinan dan kesehatan ibu dan bayi terancam, anak stunting karena pemahaman dan kesiapan terkait reproduksi belum mereka pahami, belum lagi kondisi fisik dan psikis yang belum matang jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan sehingga belum dapat mewujudkan tujuan perkawinan yakni membentuk rumah tangga yang bahagia dan keturunan yang berkualitas.

“Dalam aspek penanganan kita harapkan adanya bimbingan dan pendampingan pada anak-anak yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di usia anak dengan menunda kehamilan, jika terlanjur hamil, menuda kehamilan kedua dan seterusnya, mengajarkan terkait kesehatan reproduksi dan memastikan hak atas pendidikan, tumbuh kembang dan kesehatan anak terjamin serta memberikan bekal skill keterampilan hidup dan penguatan ekonomi untuk dapat tetap tumbuh dan bedaya,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Propinsi Sulawesi Barat Ibu Hj, Djamila, SH, sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini.

Ia menyampaikan jika jalan sendiri-sendiri kita tidak mampu menurunkan angka perkawinan anak di Sulawesi Barat, butuh kerja keras dan kerja bersama semua pihak terutama kepala desa dan imam desa, karena geografis di Sulbar sangat terbatas akses dan anggaran.

“Sehingga kami membutuhkan pro-aktif dan kesadaran perangkat desa yang ada di bawah untuk melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak di tingkat RT dan RW. Kendala yang dialami juga anak-anak kita di desa terpencil adalah akses Pendidikan, masih banyak daerah terutama di pulau yang tidak memiliki sarana Pendidikan SMP dan SMA sehingga banyak orang tua menikahkan putra-putrinya di usia anak sebagai pilihan,” ungkapnya.

“Hal inilah menjadi tugas kita untuk mengkoordinasikan dengan Dinas Pendidikan agar bisa lebih merata akses Pendidikan di Sulawesi Barat,” ujar Bu Kadis.

Sementara itu, Ulfah menambahkan kepada semua perwakilan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Ormas dan LSM seperti, MUI, Muhammadiyah-Aisyiyah, NU, Muslimat, Yayasan Kartini Manakarra, aktifis Perempuan dan Anak, Forum Anak, perwakilan Puspaga serta Dinas PPPA kabupaten se-Sulawesi Barat telah membantu suksesnya acara FGD ini.

Ia berharap kajian dan diskusi terpumpun untuk mengurai dan mencari solusi pencegahan dan penanganan perkawinan anak di Sulawesi Barat menjadi awal kerja nyata dalam membangun komitmen bersama seluruh komponen yang ada di Sulawesi Barat untuk zero toleran terhadap perkawinan anak sehingga dalam waktu yang relatif cepat akan terjadi penurunan angka perkawinan Anak di Bumi Malaqbi Sulawesi Barat. (*)

Baca Juga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Populer