Friday, May 3, 2024

Jokowi, Pemimpin ‘Bernyali’ yang Bisa Diterima Rusia dan Ukraina

EraKita.id – Misi perdamaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia dipuji banyak kalangan di dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini mengingat belum ada pemimpin negara yang bisa menembus border dan mengajak perdamaian secara langsung kepada kedua negara yang sedang konflik tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, selain Jokowi, tidak ada pemimpin negara yang bisa dipercaya membantu mengatasi konflik Rusia dan Ukraina.

Hal ini karena Jokowi dan Indonesia tidak memiliki kepentingan khusus yang terkait dengan salah satu negara. Untuk itu, kunjungan Jokowi bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina disambut secara terbuka.

“Tidak ada pemimpin negara yang bisa dipercaya membantu untuk mengatasi konflik kedua negara kecuali Jokowi,” kata Burhanuddin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (2/7/2022).

Ia mencontohkan negara Tiongkok dianggap terlalu condong ke Rusia. Untuk itu, kata Burhanuddin, Tiongkok sulit untuk bisa masuk dan mengambil peran seperti yang dilakukan Indonesia melalui Presiden Jokowi.

China itu dianggap cenderung terlalu condong ke Rusia dan tak bisa masuk untuk mengambil peran tersebut.

Di sisi lain, misi perdamaian Jokowi bisa menyelamatkan dunia dari krisis pangan. Hal ini mengingat Ukraina merupakan negara penghasil gandum, sementara Rusia terkorelasi sebagai produsen pupuk.

Dalam catatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sebanyak 1,6 miliar orang di berbagai negara bakal menanggung dampak perang antara dua negara bekas Uni Soviet tersebut.

Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia membawa motif kemanusiaan. Kalau tidak ada yang mendamaikan, maka dunia terancam krisis pangan serius.

Direktur Maritime Strategic Center, Muhammad Sutisna, bahkan menilai Jokowi layak diberikan apresiasi tertinggi dalam dunia internasional, yakni Nobel Perdamaian.

“Lawatan Pak Jokowi ke Rusia dan Ukraina merupakan perjalanan berisiko tinggi, serta keamananannya sulit diprediksi. Berkat keyakinan yang tinggi untuk membawa misi perdamaian, Pak Jokowi patut diapresiasi sebesar-besarnya melalui Nobel Perdamaian,” ungkap Sutisna.

Menurut Sutisna, Nobel Perdamaian diberikan kepada individu atau lembaga yang memberikan upaya terbesar dan terbaik demi persaudaraan antarbangsa, penghapusan atau pengurangan penggunaan senjata, juga kampanye kongres perdamaian.

“Dari syarat seseorang maupun kelompok mendapatkan Nobel Perdamaian, Presiden Jokowi sudah masuk dalam kriteria mendapatkan nobel atas usahanya menjadi katalisator perdamaian di antara dua negara yang sedang berkonflik,” kata Sutisna.

Pemimpin Asia Pertama

Diketahui, Presiden Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang berani melakukan kunjungan berisiko ke Ukraina sejak negara itu diinvasi oleh militer Rusia pada 24 Februari lalu.

Kunjungannya akan sangat penting bagi konstelasi geopolitik global jika berhasil meyakinkan dua negara yang sedang bertikai untuk mengakhiri konflik.

Di sini, Jokowi punya daya tawar dan posisi yang cukup unik. Setelah pertemuan dengan Zelenskyy, Jokowi akan melanjutkan perjalanan ke Moskwa menemui Presiden Rusia Vladimir Putin.

Karena itu dari sudut pandang Zelenskyy, Jokowi adalah tamu yang sangat penting karena bisa menjadi duta untuk menyampaikan pesan-pesan yang ingin dia sampaikan ke Putin.

Daya Tawar Jokowi

Tidak seperti kunjungan para kepala negara lain yang hadir untuk menegaskan dukungan atau bantuan logistik dan senjata agar Ukraina bisa bertahan menghadapi gempuran Rusia, Jokowi datang untuk mengakhiri perang.

Kekuatan lain Jokowi adalah representasinya atas negara yang netral dalam konflik ini.

Daya tawar yang dia miliki berbeda dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang juga sudah menemui Putin dan Zelenskyy sekaligus bahkan sebelum perang dimulai.

Zelenskyy tidak bisa berharap Macron bisa meyakinkan Rusia untuk menghentikan aksi militernya, karena di mata Putin Prancis adalah salah satu kekuatan utama NATO dan Eropa Barat yang dalam konteks ini menjadi “musuh” Rusia.

Indonesia, yang posisinya sangat jauh dari wilayah konflik dan penggagas Gerakan Non-Blok dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, adalah penengah yang adil.

Namun, kenapa Putin harus mendengarkan suara dari Indonesia?

Saat ini Indonesia memegang kursi kepresidenan kelompok G-20, di mana Rusia adalah anggota yang penting. Anggota-anggota yang lain seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat mengancam boikot KTT G-20 di Indonesia jika Putin hadir.

Putin dan Jokowi memang harus bertemu untuk membahas masalah ini.

Kepastian rencana pertemuan Jokowi dan Putin sempat memicu kontroversi karena Rusia saat ini tengah dikucilkan sebagian besar negara di dunia dan diperlakukan sebagai agresor yang jahat.

Punya Nyali

Yang tidak banyak diketahui waktu itu adalah Jokowi juga berniat menemui Zelensky sebelum ke Moskwa. Dan tahapan paling penting itu sudah terlaksana.

Di sinilah Jokowi menunjukkkan kebijakan dan karakter sebagai pemimpin yang bisa diandalkan dunia internasional.

Selain itu dia juga menunjukkan keberanian di atas semua protokoler keamanan untuk mendatangi wilayah perang, bahkan meskipun harus menempuh perjalanan darat selama 12 jam di negara yang nun jauh di sana.

Jokowi hendak menunjukkan bahwa demi perdamaian dunia, semua risiko yang ada memang layak ditempuh.

Sejumlah kepala negara yang lain yang pernah berkunjung hanya sampai di Polandia atau ke perbatasan Polandia-Ukraina karena risiko keamanan.

Tamu Penting Putin

Setelah perjalanan pertama yang sangat penting ini, misi perdamaian yang diusung Jokowi akan masuk Istana Kremlin.

Jokowi sudah mendengar langsung pesan dari Zelenskyy, dan bersedia menyampaikannya ke Putin.

Jokowi juga sudah mendengar langsung pendapat dari para kepala negara G-7 di mana terdapat negara-negara kekuatan utama dunia seperti AS, Prancis, Inggris, Jerman, dan Jepang tentang situasi terkini di Ukraina.

Hal itu membuat Jokowi sebagai tamu yang sangat penting bagi Putin, sebagai mediator yang harus didengar dan disimak ucapannya.

Jika Jokowi bisa meyakinkan Putin untuk menghentikan aksi militer di Rusia secepatnya, itu akan menjadi kontribusi luar biasa dari Indonesia untuk perdamaian dunia.

Indonesia di era Presiden Sukarno pernah menginisiasi Gerakan Non-Blok melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Gerakan ini sangat relevan ketika itu karena dunia terbelah dalam konflik Perang Dingin antara Barat dan Timur yang menyeret banyak negara dalam perseteruan politik dan militer dan menghalangi kerja sama global.

Gerakan Non-Blok sempat memiliki 120 anggota, hanya kalah jumlahnya dari keanggotaan PBB, dengan misi utama melawan kolonialisme, neo-kolonialisme, imperialism, dan rasialisme. Nafas gerakan ini masih relevan dalam konteks geopolitik global hingga sekarang setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina.

Rusia khawatir bahwa Ukraina akan bergabung ke Blok Barat dengan menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan mengambil cara militer untuk mencegah hal itu terjadi. (*)

Sumber: beritasatu.com/berbagai sumber

 

Baca Juga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Populer